JENIUS, PENGGAGAS LOMBA SISTEM KOLONGAN



Konon, beberapa hobiis merpati bangsa Belanda memperkenalkan merpati ‘atraksi’ atau merpati ‘salto’ ke Nusantara pada abad ke-19 lampau. Merpati ‘atraksi’ atau merpati ‘salto’ kini dikenal sebagai merpati tinggian, dimana kemampuan khasnya adalah menukik seperti burung elang dari ketinggian tertentu. Sistem lomba pada jaman lampau tersebut adalah melepas merpati jantan secara bersama-sama dari jarak tertentu, mungkin puluhan bahkan ratusan ekor sekaligus, joki atau pengendali merpati menunggu di titik finish dengan memegang merpati pasangannya (betina). Merpati (jantan) yang juara adalah yang lebih dahulu menyentuh betinanya. Dari puluhan atau ratusan merpati yang dilepas di titik start, seringkali lebih dari separuhnya tidak pernah sampai ke finish, atau sampai finish beberapa jam bahkan beberapa hari kemudian, maklum, jarak lepasan kala itu tergolong ekstrim bagi ukuran sekarang, yaitu bisa mencapai 100 Km ! Kakek Penulis sendiri, yang adalah hobiis merpati tinggian, sekitar tahun 1960-an masih sering melepas merpati dari Kota Cirebon, padahal rumah dan kandang ada di Kota Tasikmalaya ! Sistem lomba merpati dengan melepas puluhan atau ratusan ekor sekaligus hingga kini masih dijumpai di negara-negara lain, diantaranya Amerika Serikat.

Pada era belakangan di Indonesia, merpati tidak lagi dilepas bergerombol, melainkan berpasangan, namun sistem finish masih sama dengan era lampau. Merpati tidak lagi dilepas pada jarak ratusan Km, melainkan diperpendek hanya 7--10 Km saja. Pada tahun 1980-1990-an saat Penulis tinggal di Bungur Besar (dekat Pasar Senen, Jakarta Pusat), merpati-merpati di wilayah tersebut dilepas dari Ancol, Jakarta Utara. Sistem era belakangan di atas, kini telah termodifikasi sebagai sistem ‘tomprangan’ atau ‘kentongan’ dimana peserta lomba dikelompokkan dalam group-group besar.
Kini, ada lagi sebuah sistem baru dalam lomba merpati, di samping sistem ‘tomprangan’ yang masih tetap eksis, yaitu sistem ‘kolongan’. Sistem kolongan mengharuskan merpati melewati sebuah ‘ring’ sebelum menyentuh titik finish. Ring ‘kolongan’ mempunyai ukuran beragam, yang paling populer adalah ukuran 9 m x 9 m x 9 m. Hmm… sebuah tantangan, tentu saja.

Jenius sekali para penggagas sistem kolongan ini. Melihat ‘ring’ kolongan, pikiran sederhana akan digiring pada dua point : merpati harus terbang tinggi, dan merpati harus berani turun ‘atas kepala’ … padahal pada faktanya, untuk bisa juara merpati tidak perlu terbang tinggi dan tidak perlu ‘berani jatuh atas kepala’ … asalkan punya kecepatan yang baik dan mampu melewati ‘lubang ring’ maka kans untuk juara terbuka lebar !

Menyadari ‘inti masalah’ dalam lomba sistem kolongan, sebagian hobiis yang kreatif membuat simulasi kolongan di dekat rumah masing-masing. Merpati dilatih untuk terbiasa melalui ‘lubang ring’ sebelum menyentuh titik finish. Walhasil, merpati-merpati hasil simulasi di rumah tersebut dikenal sebagai merpati bergaya ‘jablay’ yang seberapapun rendahnya terbang mendekati finish, hampir 100% bisa dipastikan akan melalui ‘lubang ring’ atau kolong !

Hobiis merpati kolongan, pada umumnya tidak mempunyai ‘kesempatan’ membuat simulasi karena berbagai kesibukan dan masalah teknis. Bagi hobiis kelompok ini, tidak punya pilihan lain selain membuat merpati mau terbang tinggi sebagai syarat untuk bisa masuk lubang ring atau kolong… itu tantangan pertama sekaligus syarat pertama untuk punya kans sebagai juara nantinya. Kecuali jika merpati yang dimainkan adalah merpati ‘berpengalaman’ ,tentu saja … TAPI aturan dalam lomba merpati kolong, biasanya titik start (lepasan) hanya berjarak kurang dari 3 Km (sebagian malah ada yang hanya 1,5 Km). Lagi-lagi pikiran sederhana terjebak dalam aturan tersebut, akibatnya sebagian hobiis hanya ‘mentok’ di titik start tersebut. Bagi merpati ‘berpengalaman’ jarak 1-3 Km tentu bukan masalah untuk bisa ‘ngolong’, tapi bagaimana dengan merpati belia yang tentu saja pada jarak lepas 1-3 Km belum tentu akan mau terbang tinggi? Jawabnya, tentu saja dalam latihan, merpati ‘belia’ harus dilepas sejauh-jauhnya hingga dianggap cukup ketinggiannya, tidak terbatas hanya 1 Km, 2 Km, atau 3 Km … kalau perlu hingga 4 atau 5 Km ! Pada latihan merpati tanpa simulasi (merpati ‘belia’ langsung dilatih di lapak lomba), semakin tinggi terbang merpati, semakin berpeluang untuk ‘ngolong’ … maka menambah terus jarak lepas menjadi keharusan, sisanya hanya masalah teknik dalam mengatur sudut menukik merpati yang dilatih. () bataragema breeder/www.merpatibreedingfarm.blogspot.com

Hmm ... sungguh jenius penggagas lomba sistem kolongan ... dengan membuat 2 tantangan : ring dan lepasan start pada jarak sangat dekat. Salute ... jempol !

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BURUNG KOLONG VS BURUNG TOMPRANG

PENYEBAB MERPATI HILANG

BURUNG BAHAN DIJUAL : DJARUM